Edi Sutopo

Mengajar di MTs Negeri 1 Grobogan Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web
Gambang Semarang (Seri 1)
Foto: Pinterest

Gambang Semarang (Seri 1)

#tantanganGurusiana #365 #tantangan menulis hari ke-49

Prakata

Sang waktu berjalan cepat. Zaman baru hadir terburu-buru pada saat zaman lama enggan berganti. Bangsa di ujung krisis. Ekonomi makin terpuruk. Harga kebutuhan pokok mahal. Gelisah melanda negeri. Orang kehilangan kepercayaan pada sesama juga pada penguasa. Bahan bakar yang mudah sekali disulut api.

Penguasa orde baru berada di ujung kekuasaannya. Kampus mulai berani bersuara kritis. Mereka menyampaikan perlunya suksesi kepemimpinan nasional.

Berapa banyak ikatan terkoyak karena perubahan sejarah? Juga kerusuhan yang terus terulang? Dan identitas yang dipertanyakan dengan curiga? Berapa banyak keluarga, harta, dan nyawa yang melayang?

Kukenang kembali peristiwa itu lalu kurangkai dan kusulam dengan benang khayalan akhirnya jadinya cerita Gambang Semarang ini.

* * *

Sungai Kanal Banjir Timur membelah kotaku Semarang dari selatan ke utara menuju Laut Jawa. Bentangannya lebar. Sedimentasi sungai yang parah telah membentuk pulau di tengah-tengah dan menempel pada satu sisi. Seolah-olah daratan itu lanjutan dari tanggul sungai yang ada di sebelah barat. Dan pulau itu menjadi berkah bagi penduduk. Semua merasa punya hak untuk memakai. Menjadi lapangan sepak bola, arena pengembalaan ternak, gubug pemulung, dan bedeng-bedeng prostitusi murahan.

Dari pinggir tanggul ini dapat dengan jelas kusaksikan pemandangan umat manusia dengan segala tingkahnya. Di sebelah utara, anak-anak bermain bola plastik. Kesebelasan sepak bola tak selalu berjumlah sebelas. Usia tidak dibatasi apalagi kostum. Apa yang telanjang dada, ada yang berkaus. Namun satu yang sama: tak bersepatu. Orang-orang menonton dari atas tanggul. Permainan tetap berjalan meskipun ada atau tidak ada penonton. Merekalah pemain sekaligus penontonnya.

Air sungai mengalir dengan malasnya. Berkelok lembut menembus gedung-gedung tinggi dan gubug-gubug reyot yang menyesaki sisi-sisinya. Airnya kecokelatan. Hangat dan kental. Mentari senja membentuk bayangan-bayangan awan hitam di permukaan air. Di sisi selatan, serombongan kambing merumput di antara bedeng-bedeng kardus dan papan kayu. Jejak-jejak kaki kambing itu terlihat jelas di atas pasir. Dua kukunya tajam menghujam ke dalam pasir. Seorang penggembala mengambili ranting-ranting kayu dan menjejerkan di bawah kaki. Di wajahnya tersungging senyum.

Agak jauh dari kambing-kambing itu, di pinggir aliran sungai seorang perempuan sedang mencuci-cuci botol, ember, sandal—semuanya bekas. Dengan lincah ia mengisi botol dengan air. Mengocok cepat agar bersih lalu menungkan lagi air itu. Sesekali ia meluruskan tulang punggung. Dan memijat-mijat pinggangnya. Wajahnya menyeringai. Keringat di wajah cukup diusap dengan punggung tangan. Kausnya kumal, cokelat susu, dan basah. Setengah lulutnya terhujam ke dalam lumpur. Ember plastik itu dengan susah payah disorongnya dengan tangan kanan. Tangan kiri membantu mengangkat kaki kiri. Susah payah ia berjalan ke pinggir. Setelah mencapai pinggir, ember itu hinggap di pinggang kiri. Dia berjalan gontai menjauhi bibir sungai. Air menetes-netes dari kaus dan celana yang digulungnya di bawah lulut.

Sampai di sisi gubug seorang anak kecil dengan rambut awut-awutan menyambutnya dengan tatapan mengharap. Di pipinya tersisa bekas cemong-cemong makan. Diulurkan piring kosong kepada yang datang. Yang baru datang menerima piring itu. Lalu melemparkan begitu saja di tanah. Anak kecil itu mulai merengek.

“Makan, Mak….,” katanya sambil terisak.

Orang yang dipanggil mak itu berjalan ke samping gubug dan meletakkan ember di situ. Dia menuju padasan lalu membersihkan kaki dengan air yang memancur itu. Dia mencopot bajunya. Kutangnya. Celana panjang. Semuanya. Lalu menyiramkan sisa air yang masih berada di ember. Lalu berdiri dan mengambil jarik yang tergantung di tali plastik di dekatnya.

Aku turun mendekati aliran sungai sambil mengeluarkan kameraku.

Senja semakin tua. Rombongan kambing itu melintas di dekat gubug. Penggembala mengiringkan dari belakang. Anak kecil itu berhenti menangis. Suara gemerincing lonceng dari leher kambing jantan menarik hatinya. Kambing mengembik lalu mendekati. Makan kulit semangka di dekat pintu gubug. Anak kecil itu melihat dengan mata berbinar. Ia sentuhkan tangannya di kepala kambing. Tiba-tiba ada tangan yang menarik paksa lengannya dari dalam gubug. Dia meronta tak berdaya. Gembala membunyikan pecut. Menimbulkan suara ledakan kecil. Rombongan kambing itu berlari-larian lebih cepat. Malam telah menyambutnya.

Kutinggalkan sisi sungai itu dan naik ke tanggul. Di atas tanggul, Kardiman telah menunggu. Dia lambaikan tangannya. Aku lambaikan tanganku. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu.

“Sudah ketemu Ngatemi, Mas Tom?” katanya sambil menggulung kain, spanduk tampaknya.

“Yang mana gubugnya? Apakah ibu-ibu yang itu?” kataku sambil menunjuk.

Kardiman memasukkan kain spanduk itu ke dalam pastik. “Ya, Mas. Gubug itulah tempat tinggalnya. Heran? Ya itulah nasibnya kini, Mas. Sejak tidak main lagi, ia terpaksa memulung dan hidup di pinggir sunggai ini.”

“Mengapa tidak diajak oleh bosnya? Apakah sudah ada yang menggantikan?”

“Jarang tanggapan, Mas. Tidak bisa diharapkan lagi. Sebulan sekali sudah syukur.”

“Tapi dia mau kembali diajak Latihan kan?”

“Saya yakin mau, Mas. Jiwa seninya pasti tidak akan pudar.”

Kasihan sekali nasib para seniman Gambang ini. Mereka tidak bisa mengandalkan hidup dari kesenian yang sudah mulai ditinggalkan. Tidak ada pertunjukan siapa kuat bertahan?

“Itu tadi spanduk apa, Kang?” Kuperhatikan Kardiman berjalan menuju becaknya.

“Biasa, spanduk pemilu.”

“Coblosan masih lama, spanduk itu masih berguna, Kang!”

Kardiman memutar becaknya lalu mulai mengayuh. Ia berseru,”Negara banyak duitnya, Mas Tom. Sampai ketemu besok!”

Kardiman berjalan dengan becaknya menjauh. Punggungnya bergoyang ke kiri kanan seirama dengan kakinya mengayuh pedal becak. Dan aku masih tidak percaya dengan nasib seniman Gambang. Kesenian ini pernah berjaya pada masanya. Menjadi kegemaran golongan elit di kota ini. Akankah ia terpinggirkan seperti nasib Ngatemi yang terpaksa tersisih di tepi sungai ini.

Kembali kukeluarkan kameraku dan kembali naik ke tanggul. Kufoto deretan gubug-gubug itu dengan latar jembatan Kali Banjir Kanal. Suara lonceng dari leher kambing masih sayup-sayup. Bayangan hitam kambing-kambing itu bergerak ke arah selatan melewati kolong jembatan yang gelap. Di atas jembatan kendaraan masih ramai. Sinar lampunya terang menandai kehidupan malam.

Angin senja bertiup keras membawa udara dingin dari arah sungai.

Kulayangkan pandanganku ke arah utara. Anak-anak kecil masih asyik bermain bola. Mereka berteriak saat bola berhasil masuk gawang musuh. Tim yang kalah terlihat lesu dan bersungut-sungut.

Kumandang azan magrib bergema. Anak-anak itu tambah semangat memperebutkan bola. Makin bernafsu untuk mengalahkan.

Segera kumasukkan kamera ke dalam tas lalu bergegas turun menuju jalan besar. Vespaku masih terparkir di bawah pohon asem. Buah asem jatuh berserakan. Kupunguti beberapa buahnya dan kumasukkan ke dalam saku samping tasku. Lumayan bisa untuk wedang asem.

Kios-kios onderdil mobil di sepanjang jalan sudah tutup semua. Sepi. Jalan ini ramai di siang hari.

Aku baru saja akan menstarter motor ketika dari arah selatan datang becak dengan cepat. Pengendaranya berteriak-teriak memanggil. Kuperhatiakn sungguh-sungguh. Lo, itu Kardiman. Benar, mengapa dia kembali lagi?

“Mas, jangan masuk kota dahulu. Ada kerusuhan di Milo, Bangkong sampai depan RRI!” kata Kardiman sebelum becaknya berhenti benar. Napasnya tersengal-sengal. Ia turun. Ditatapnya aku dengan pandangan serius.

“Kerusuhan apa, Kang?”

“Biasa, kaus kuning dengan kaus hijau. Seperti dua hari yang lalu.” Dia turun dari becaknya.

“Ya, terima kasih informasinya. Mengapa harus balik lagi. Saya tidak lewat jalan itu!”

“Iya, Mas. Jaga-jaga saja. Mereka tidak hanya saling serang, tetapi juga sudah merusak toko-toko sambil berteriak-teriak ‘bakar toko Cina’ ‘usir Cina’. Pokoknya, sampeyan hati-hati, ya!”

“Sekali lagi matur nuwun, Kang! Saya akan segera pulang. Sekarang Sampeyan juga pulang saja.”

“Mas, ini ada pisang,” Kardiman mengambil bungkusan dari jog becaknya,”Pisang rebus. Istri saya yang memberikan. Khusus untuk sampeyan,” katanya sambil menyerahkan bungkusan plastic.

“Terima kasih. Lo, ini bukannya dijual, Kang?”

“Ah, masih banyak, kok. Ndak apa-apa, panen sendiri. Sudah ya, saya jalan dulu,” kata Kardiman sambil cepet-cepat kembali ke arah selatan.

Kardiman, tukang becak yang dermawan. Bersama istrinya, sehari-hari mangkal di Milo. Istrinya mempunyai kios kecil di sana. Tempat berhenti bus-bus ke luar kota: Solo, Yogyakarta, Purwokerto, dan Cirebon.

* * *

Angin yang gerah mendorong debu-debu berlari-lari. Makin bertambah kencang ketika ban-ban mobil melawatinya. Gumpalan debu terbayang sorot lampu-lampu mobil yang melaju di atas Kali Berok. Di sebelah selatan jembatan itu seorang gembel tidur persis di tepi sungai. Bajunya kotor compang-camping sudah tidak jelas warna aslinya. Tubuhnya penuh debu. Lalat-lalat beterbangan dari borok di mata kakinya. Borok itu ditutupi dengan kaki satunya. Tak menolong. Lalat-lalat mendekat lagi. Berkali-kali itu dilakukan. Tangan kiri dipakai sebagai bantal. Tangan sebelah menutupi mukanya. Mungkin ia malu pada dunia? Atau pada langit yang tahu semua rahasianya?

Seorang laki-laki bersarung datang dari arah utara. Tangannya membawa pungkusan plastik hitam di atas bahunya. Tangan satunya memain-mainkan botol plastik yang masih tersisa air di dalamnya. Menimbulkan bunyi gemericik. Sampai di dekat kepala gembel itu ia berhenti. Kaki kanannya menyepak kepala gembel itu. Yang disepak diam lalu membalikkan badan menghadap sungai. Aroma sungai yang banger menyambutnya. Ia tidak peduli. Ia asyik dengan mimpinya.

Orang yang datang itu menurunkan bungkusannya. Kembali dia sepak kaki si gembel. Gembel itu langsung menekuk kakinya ke dalam. Orang yang datang segera duduk di dekat bungkusan plastik. Bibirnya membentuk garis lurus. Seolah takut diketahui gembel sebelahnya, pelan-pelan ia mengeluarkan isi bungkusan. Beberapa potong kain. Tak jelas baju, kaus, robekan kain atau gulungan kertas-kertas koran. Mungkin spanduk jalan. Terakhir ia keluarkan sebuah plastik roti yang masih tersisa separuh isinya.

Dia basahi tangan dengan air dari botol. Lalu mengambil secuil roti. Dia mendekatkan roti dan berhenti depan mulutnya. Dia tengok gembel sebelahnya. Dia berjalan jongkok mendekati. Dia dorong-dorong tubuh itu. Tak bergerak. Mendekati wajahnya lalu menyorongkan roti itu ke mulut si gembel.

“Makan!”

Terdengar suara erangan panjang.

“Makan, e… nanti mati kamu!” kali ini dengan suara lebih keras.

Gembel itu bergerak lalu membalikkan tubuh. Membuka matanya yang berat. Tangannya cepat menyambar. Dan roti itu pun telah berpindah tangan dan masuk di mulutnya.

“Kau lihat Sumi?” lelaki itu bertanya sambil matanya melihat jalanan.

Gembel itu menengadahkan tangannya lagi untuk meminta roti.

Sebuah roti diterimanya lalu berkata, “Ke Srigunting. Tadi ada dua orang ke sini.”

Mereka kini duduk berdampingan membelakangi sungai. Terdengar gemericik air dari saluran buang got. Air itu hitam pekat. Berbau banger dan anyir.

Mobil-mobil masih ramai melintasi jembatan Berok. Pipa air minum yang bocor memuncratkan air membasahi jalan di sekitarnya.

Di seberang sana tampak dua buah becak diam-diam saja di depan gedung tua. Seorang tua duduk bersandar di tempat duduk penumpang. Mungkin tidur. Becak satunya kosong. Entah ke mana pemiliknya.

Lalu terlihat dari arah selatan seseorang bercaping bambu menenteng beberapa lembar kardus. Wajahnya cerah. Rupanya ia mendapatkan tempat untuk alas tidurnya.

Kuperhatikan pemandangan itu dari atas vespaku. Sebuah bulan sabit di langit tampak malu-malu menyembulkan wajahnya. Jalanan masih ramai. Siang hari tempat ini adalah terminal angkutan kota. Memasuki malam angkutan sudah tidak masuk terminal lagi.

Kuambil pisang yang diberikan Kardiman. Rupanya pisang kapok pipit. Kumakan satu. Rasanya kenyal dan manis. Aku berniat memberikan pisang ini kepada gembel itu, tetapi aku ingat pesan kardiman untuk menyampaikannya kepada Mely. Kembali kumasukkan pisang itu ke dalam tasku.

Malam masih berjalan dengan gelisah. Udara pengap membuat keringat lengket di badan. Kelelawar terbang dari pohon ke pohon. Kepakannya kuat menimbulkan bunyi di antara daun-daun. Aku harus menjemput Om Obi di Stasiun Tawang. Mungkin sebentar lagi kereta akan datang. Kubawa vespaku ke arah utara menyusuri jalan Mpu Tantular, Jalan Merak dan sebentar saja sudah sampai di stasiun Tawang. Vespa kuparkirkan agak jauh dari pintu ruang tunggu stasiun, dekat sebuah tiang lampu. Serangga malam terbang berputar-putar mengelilingi lampu. Tubuhnya menyambar-nyambar dan membentur-bentur kaca lampu. Kata orang-orang tua hal itu sebagai penanda memasuki musim pancaroba.

Stasiun Tawang begitu megah dan anggun di malam hari. Ramai sekali. Orang-orang datang dan pergi. Taksi berseliweran hilir mudik.

Dua buah becak melintas di depanku. Dua orang pengendaranya memarkir becak tak jauh dariku. Mereka menyusuri jalan di depanku.

Lelaki pertama bertubuh kurus kecil dan gesit. Wajahnya gelap dengan mata yang gelisah. Lubang-lubang bekas cacar di wajahnya terlihat jelas di bawah sorot lampu. Rambutnya tipis kemerahan. Beberapa lembar uban tumbuh di atas telinganya. . Bagian-bagian wajah itu seolah menggambarkan sebuah kerja keras.

Lelaki satunya bertubuh gempal. Badannya tidak tinggi tidak pendek, kakinya besar seperti tiang listrik. Wajahnya bulat. Alisnya hitam tebal dengan mata lelah di bawahnya. Bahunya lebar menggelayut; dan ia berjalan dengan langkah berat.

Lelaki pertama berhenti tiba-tiba, temannya menoleh heran. Dia menengok air yang memuncrat dari kran air di taman bunga. Si lelaki pertama melepaskan topi bambunya. Menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya. Temannya yang bertubuh gempal setengah berlari mendahului. Lalu memasang kedua belah tangannya di bawah muncratan air. Membuka mulut dan berkali-kali tangan itu memasukkan air ke dalamnya. Menelannya cepat lalu membuka lagi seperti kuda nil yang kelaparan. Dia terus melakukan sampai wajah dan bajunya basah

“Ya ampun Parjo, Parjo, kamu minum air ledeng. Mencret kamu.” Orang yang diingatkan bergeming. Ia masih asyik dengan mainannya itu.

Orang yang mengingatkan tak berdaya. Berjalan mondar-mandir. Matanya mengawasi taksi-taksi yang keluar-masuk stasiun.

“Kereta dari Jakarta akan datang, Jo!” katanya tanpa menoleh. Sejurus kemudian terdengar dari speaker stasiun. Suara seorang lelaki yang memberitahukan kedatangan kereta dari Jakarta.

“Benar, Jo! Kereta datang!” dia tersenyum penuh kemenangan, “Kita akan dapat penumpang lagi ini, Jo!” katanya sambil menepuk punggung temannya itu.

“Aduh, enak sekali ya, makan enak, haaa…,” katanya dengan muka basah oleh air. “Aku akan narik penumpang lagi!”

“Iya, Jo! Ayo!” dia berdiri dan berjingkrak-jingkrak. Parjo mengikuti. Bumi pun berguncang. Orang yang bertubuh kecil berlari di depan. Si tubuh gempal susah payah mengikuti dari belakangnya. Mereka berlari-lari menuju stasiun.

Aku susul mereka. Kupercepat langkahku. Sampai di ruang tunggu orang-orang berjubel-jubel. Berdesakan antara yang mau masuk dan keluar. Peron itu begitu sempit. Dan pemeriksaan karcis satu-satu begitu lamanya.

* * *

Aku ikut berdesakan masuk ke peron. Seorang petugas menghalangi. Namun, kuberkelit dan akhirnya bisa lewat. Beberapa kereta berhenti di jalur. Aku tak tahu mana kereta yang datang dari Jakarta yang ditumpangi Om Obi. Aku tak mau mencegat dekat pintu keluar ini. Tak sabar. Kuperlukan berjalan mendekati gerbong kereta yang akan masuk di jalur satu. Mungkin ini keretanya. Kereta berjalan pelan memasuki lintasan. Suara lokomotif sangat keras memekakkan telinga.

Masinis memberi senyuman kepada petugas pengatur perjalanan kereta api yang berdiri di sampingku. Aku merasa ikut diberikan senyum olehnya. Dan aku pun tersenyum kecil.

Kereta sudah berjalan makin pelan. Di dalam gerbong kereta seorang lelaki gendut berkepala botak mengambil koper di atas kepalanya. Kereta api belum berhenti benar ketika ia memakai jaket kulit dan kacamata hitam. Sebuah topi laken dipakainya pula.

Dia memegang kopernya dan mengusap-usap permukaannya. Roda kereta belum benar-benar berhenti saat ia berdiri dan kemudian berjalan. Penumpang lain di kereta itu terlelap dengan gaya dan pose masing-masing.

Ia terhuyung-huyung saat roda kereta benar-benar berhenti. Ia mendekati pintu keluar. Seorang kendektur yang berdiri di dekat pintu tersenyum lalu membantu membawakan koper. Tangga besi telah disediakan petugas tepat di depan pintu. Dan ketika pintu benar-benar terbuka ia keluar dengan wajah ceria.

“Semarang, aku kembali!” katanya. Emplasemen stasiun Tawang yang lebar itu makin bertambah ramai.

* * *

“Om Obi?” tanyaku kepadanya.

“Ya, kamu Tomi?” aku mengangguk dan kujabat tangan Om Obi. Kubantu membawakan koper. Dan kami beriringan menuju peron.

Om Obi mematut-matutkan bajunya. Ia melepas topi dan mengipas-ngipaskan untuk mencari angin.

“Bagaimana rencana pentasnya. Masih sering Latihan?”

“Seperti biasa setiap malam Minggu Latihan,” kataku.

“Kalau mau tampil bagus harus rajin Latihan, sekurangnya dua kali seminggu. Jangan malas-malas!” katanya dengan pandangan tidak puas.

Vespaku bergerak ke arah selatan melewati bangunan-bangunan tua di Little Netherland. Sampai di gereja Blenduk, Om Obi memberi kode agar aku berhenti.

“Kita cari wedang ronde dulu Tom,” katanya sambil turun dari boncengan. Wajahnya cerah. Gerakannya menjadi lincah. Disapukan pandangannya di sekeliling. Orang-orang masih ramai bercengkerama sambil menikmati keindahan taman Srigunting yang bermandi cahaya.

“Masih seperti dahulu,” katanya pada diri sendiri.

Dia menoleh ke belakang seperti ada yang dicari. Wajahnya bersungut-sungut. Pasti ada masalah

“Ada apa, Om?”

“Di sekitar gereja Blenduk ini dahulu ada tukang lukis. Di mana sekarang?”

“Mungkin pindah, Om,” jawabku sekenanya, “Sudah lama tidak ke Semarang, Ya Om?

“Cukup lama, Tom. Tiga bulan yang lalu saya mampir sewaktu pulang dari Solo. Cuma mampir sebentar.”

Wedang ronde telah tersaji dalam mangkuk kecil. Aroma jehe menyengat hidung. Pedagang mendekatkan panganan lain. Tapai, kerupuk, bakwan, dan mendoan.

Setelah menikmati wedang ronde, Om Oi minta diantarkan ke Gedung Rasa Darma di Gang Pinggir. Dia lebih suka tinggal di tempat perkumpulan sosial itu.

“Rasanya lebih adem, Tom. Aku selalu rindu saat kecilku dulu bermain-main di gedung itu.”

Vespa kembali membawa kami menyusuri jalan-jalan di kota lama. Gedung-gedung peninggalan Belanda ini pada zamannya tentu tidak sembarangan orang bisa lewat. Lebih-lebih di depan Gereja Blenduk.

“Di sini dahulu daerah elitnya Belanda, Tom. Nah, di sebelah selatannya kawasan pecinan untuk golongan Tionghoa dan di sebelahnya lagi kampung Pekojan untuk golongan Arab. Kita sudah dikotak-kotakkan sejak dahulu sampai sekarang,” katanya setengah berteriak untuk mengalahkan suara vespaku.

“Ya, Om. Kita harus menghilangkan sekat-sekat sosial itu, Om.”

“Cara yang paling mudah ya lewat kesenian, Tom. Sebagai anak muda kamu harus belajar seni. Jangan hura-hura saja!”

“Ya, Om!”

* * *

Setelah mandi enaknya bersantai sambil menikmati udara malam di atap ini. Dari lantai dua aku bisa mengawasi sekeliling. Lampu-lampu dari puncak-puncak gedung di semua penjuru kota. Aku duduk di balai bambu sambil menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Ia melihat di langit selatan rasi bintang gubug penceng terlihat jelas. Bulan yang belum penuh membuat bintang di langit terlihat lebih jelas. Kelelawar sesekali menyambar di atas kepalanya.

Tak jauh dari posisi duduk terlihat klenteng Tay Kak Sie berdiri gagah. Dua buah naga menghiasi atapnya. Lampu-lampu yang menghiasi klenteng itu membuatnya makin indah dan berwibawa.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh ke arah sumber suara. Mely mendekat. Gadis itu mengenakan piyama. Kedua tangannya membawa cangkir. Dia lalu duduk begitu saja di sampingku lalu menyodorkan tangan kanannya.

“Apa, nih? Wedang ronde?”

“Cincau, enak, kok. Dingin dan segar,” kata Mely sambil mengangkat cangkirnya.

Aku duduk tegak dan mulai minum. Mely tampak berseri. Ada rasa puas terpancar di wajahnya.

“Bagaimana skripsimu, Koh?”

“Sebenarnya tinggal ujian saja, tetapi dosen pembimbing pertama masih di luar negeri. Mungkin bulan depan bisa ujian.”

“Syukur deh, aku juga sebentar lagi akan ujian tari. Doakan ya aku sukses,” katanya dengan mata bercahaya. Mely gadis Tionghoa ini ternyata begitu cinta dengan budaya Jawa. Lewat tari ia ingin menikmati keindahan budaya bangsanya.

“Ya, pasti. Nanti aku ajak teman di kampus juga anak-anak pondok pesantren untuk ikut menonton. Supaya mereka juga tertarik tarian tradisional.

“Iya, ah senang sekali,” kata Mely sambil bertepuk tangan. Gembira sekali dia. Sejak kecil Ia memang telah menunjukkan minatnya kepada kesenian tradisional. Dan keluarga Tionghoa ini ternyata ikut senang dengan hobinya itu.

Aku dan simbokku tinggal di rumah Tionghoa ini. Lebih tepatnya menumpang. Sejak kecil aku bergaul dan bersekolah di lingkungan mayoritas kaum Tionghoa. Simbok selalu berpesan agar aku bisa bergaul dengan siapa saja meskipun kami dari keluarga Jawa tulen. [*]

* * *

Bersambung. Nantikan seri selanjutnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Next.

25 May
Balas

Trims Bu. Ditunggu, ya...

25 May

wah.....menunggu lanjutannya....menghayati detil detil tulisannya, sepertinya saya ini yang sedang bertualnag dengan Mas Tom... Salam Literasi, dari Ujung timur Indonesia !Papua Menyapa lewat bacaan yang bermakna .

25 May
Balas

Terima kasih Bu telah berkenan membaca cerita ini. Salam literasi.

26 May

Kereen Pa. Cerita yang apik. Sabar menunggu kelanjutannya.

25 May
Balas

Terima kasih Bu sudah bersedia mampir. Salam literasi.

25 May

Sae Pak.. Keren

25 May
Balas

Alhamdulillah. Semoga lancar selanjutnya.

26 May

Apik.

25 May
Balas

Nuwun Bu.

26 May

Masya Allah...alur dan latar ceritanya mengalir deras dan jelas

25 May
Balas

Alhamdulillah, masih terus berlatih Bu. Semoga makin lancar. Terima kasih sudi mampir di sini.

26 May



search

New Post