Edi Sutopo

Mengajar di MTs Negeri 1 Grobogan Jawa Tengah....

Selengkapnya
Navigasi Web
Gambang Semarang (Seri 2)
Pinterest

Gambang Semarang (Seri 2)

#tantanganGurusiana #365 #tantangan menulis hari ke-51

Gambang Semarang

(seri 2)

* * *

Selesai mengambil napas panjang dia maju ke hadapan Kelenteng tepat di tengah-tengah lapangan. Berhenti untuk menentukan Langkah selanjutnya. Ia membuka kakinya mengambil kuda-kuda samping. Membungkuk lalu meletakkan kepala dan kedua telapak tangan di lantai. Pelan-pelan ia memposisikan kepala menjadi tumpuan tubuh. Kaki ditekuk dan lambat-lambat diangkat lurus ke atas. Ia lakukan itu dengan lancar, satu kesanggupan yang baru beberapa hari ini diperolehnya.

Sebelumnya dia cuma dapat mengangkat tubuhnya paling lama dua menit. Itu pun dengan risiko dia kehilangan keseimbangan tubuh dan jatuh. Berkat latihan tekun yang terus-menerus waktunya makin diperpanjang. Lima, tujuh menit, delapan, sepuluh sampai lima belas menit.

Kini dia dapat berdiri di atas kepala sesukanya. Selama waktu yang dikekendakinya. Pernah suatu hari ia berdiri demikian selama hampir satu jam. Mungkin sedang menikmati. Satu-satunya gangguan yang dilaminya adalah kepalanya terasa penuh darah. Wajahnya memerah dan berat. Darah mengalir deras ke arah wajah, mata dan telinganya.

Dengan bersemadi seperti itu ia mengaku tubuhnya lebih rilaks. Setelah itu dia bisa membuat gerakan-gerakan baru yang sulit dengan lincah dan terarah.

Lama juga dia berdiri terbalik di depan Kelenteng itu. Tubuhnya tegak tak bergerak. Sungguh luar biasa pencapaiannya. Jalan di depan kelenteng amat lengang. Manusia dan anjing jauh darinya. Hanya seekor kucing hitam yang mengorek sampah di pinggir jalan. Di langit timut terlihat sepasang gagak berputar-putar. Kepakan sayapnya ditahan begitu lama seolah bisa menahan grafitasi bumi.

Kesibukan kota pagi itu seolah menyibak ke satu penjuru saja. Desah kesibukan ini sesekali diantar angin ke telinga kanannya. Kadang ke telinga kirinya. Seolah-oleh dia sendirian di kota itu. Hanya ditemani seekor kucing hitam.

Saat seperti itu ia merasa bergairah untuk bergerak ke segala penjuru. Berterbangan perasaan hatinya. Ringan sekali. Menyibak segala soal yang terbiasa mengimpitnya. Setelah sampai derajat seperti itu ia akan segera menghentikan lakunya. Pelan-pelan lipat kedua kakinya ke dalam lalu menapak kemali ke tanah seperti sedang berjongkok. Kemudia ia berdiri sambil menatap kelenteng dan mengambil tiga kali napas panjang. Keringatnya mengalir deras. Ia membungkuk ke arah kelenteng. Selesailah lakunya.

Dia melangkah dengan ringan. Bersiul sambil memandang ke kanan dan ke kiri. Girang sekali melemparkan kakinya tingi-tinggi. Sebenarnyalah latihannya di depan Kelenteng itu bisa saja. Dia selalu berlatih barongsai di situ dengan kelompoknya. Dia selalu senang melihat merah menyala di kelenteng itu. Ada rasa ringan di hatinya. Dia sendiri heran, mengapa.

Pernah sekali. Sesaat sebelum kemelut hatinya membuncah dia hendak mengabaikan bangunan antik tempat sembayangnya itu. Maunya berjalan lurus saja. Dari rumah langsung berjalan di depan kelenteng menuju tempat bekerja tanpa menengok. Tetapi sesampai di depan kelenteng entah mengapa ada kekuatan misterius yang memutar pandangannya. Dan tanpa disadari kakinya melangkah membelok di depan pintu Kelenteng dan seperti dikendalikan kekuatan besar yang sulit ditolaknya. Kemudian secara otomatis badannya membungkuk lalu melempar senyum manis kepada Dewi Kwam Im. Setelah itu dia baru bisa berjalan biasa ke ke mana pun juga. Anehnya, sedikit pun dia tak merasa menyesal telah melakukan itu berkali-kali.

Pelan-pelan dia menyusuri jalan di sepanjang trotoar. Dia mencoba menghitung ubin yang melapisi jalan. Bukan karena dia suka menghitung atau suka pada angka-angka, tetapi semata-mata untuk mengendalikan dirinya saat mendekati tikungan di ujung kelenteng. Pandangannya sesekali mendahului langkahnya. Detak jantungnya memantulkan kembali pandangannya ke arah ubin-ubin kuning gading di bawah kakinya. Butir-butir pasir di atas sepatunya beterbangan tertiup angin. Sol sepatunya sudah aus. Benangnya rantas. Ada serabut halus pada benang jahitannya.

Pada saat seperti itu seluruh isi kepalanya menyisih. Terpusat pada satu pikiran saja: harapan pada istrinya. Harapan istrinya akan pulang membawa anaknya yang masih bocah. Ia mengharap istrinya akan muncul dari tikungan dekat kelenteng itu. Kemudian istrinya akan berteriak memanggil namanya. Dan anaknya akan berlari-lari kecil menuju ke dekapannya.

“Ayah,...!”

“Apa kabar, istriku…”

“Apa kabar suamiku,….”

Dan apabila kalimat itu dengan segenap nada dan jiwanya dengan seluruh variasi melodinya tak kunjung datang dan tidak akan pernah datang yang sampai di telinganya hanyalah desah keramaian kota yang menyibak ke seluruh arah maka di dalam kepalanya akan timbul denyutan yang makin lama makin membesar.

Kehampaan sehabis melewati tikungan itu begitu terasa. Wajahnya berubah sendu. Hilang cahaya di sana.

Setelah itu ia akan menuju ke arahku dan bercerita dengan air matanya. Lalu kupeluk dia dengan dekapan penuh persahabatan. Ang Lim, pemain barongsai yang sering menemaniku mencari lokasi foto paling bagus di pecinan dan Little Netherland. Di saat itu dia sering mengungkapkan masalah keluarganya. Tentang istrinya yang telah pergi selama-lamanya. Dan tentang penyesalannya yang tiada terkira karena menyia-nyiakan masa indah bersama keluarga kecilnya.

Ketika istrinya belum meninggal, kata orang-orang, mereka adalah pasangan yang paling berbahagia.

Mereka keluarga yang harmonis. Ang Lim bekerja di sebuah bank swasta dan istrinya Li Wei bekerja di sebuah rumah makan. Hidup mapan tak kurang-kurang. Rupanya itu belum menyenangkan hatinya. Ia Ia ingin lebih lalu tersandung kasus. Ia dituduh menggelapkan mobil perusahaan. Awal tahun lalu dia dipecat.

Ia kemudian banting setir menjadi pemangkas rambut. Hari-harinya diisi dengan mabuk-mabukan. Sampai-sampai saat istrinya melahirkan anak kedua nyawanya tidak tertolong.

Sejak saat itulah rasa sesalnya timbul. Ia merasa tidak berguna. Beruntung dia memilih masuk kelenteng. Kembali hanyut dalam semadi. Pelan-pelan ia merasa tenang. Dan untuk pertama kalinya orang-orang di daerah Gang Pinggir menyaksikan kemurahhatian Ang Lim. Mereka menyaksikan tubuh dan jiwa baru dari Ang Lim. Dia berbahasa sopan dengan nada mendayu lembut. Ketika dia berjalan dan berpapasan dengan orang lain dia mengucapkan salam lebih dahulu. Sama sekali berbeda dengan Ang Lim sebelumnya.

* * *

Udara menyengat wajahku. Panasnya memaksa kepalaku memicingkan mata. Silau sekali. Kulit lengket oleh keringat bercampur debu. Roda kendaraan silih berganti melintasi jalanan membawa pula angin yang mengandung debu-debu sisa kotoran kuda, ban mobil, dan ludah manusia.

Sejak membuka mata telah kunikmati suasana ini. Pemukiman padatnya sekaligus tempat usaha kaum Tionghoa. Aku hidup di sini. Tinggal bersama keluarga Liem Tan Swie dan Cik Lian penjual obat sinshe. Di keluarga ini aku sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Menurut cerita simbok, juragan Liem telah mengangapnya sebagai bagian dari keluarga. Setelah simbok menikah sempat ia pulang kampung di Purwodadi. Aku ditinggal bapak ketika masih bayi. Menurut simbok, ia sengaja kembali ke sini. Di sini dia memperoleh kedamaian sebuah keluarga. Biarpun kerja di sini ya, membantu kerja di dapur.

Kuingat pada suatu malam sebelum tidur aku dipijiti simbok. Saat itu. Mely masih kecil ikut bermain di kamarku. “Kalau main jangan jauh-jauh to, Le,” katanya sambil memijatku. Le adalah panggilannya kepadaku. Aku belum sempat menanyakan mengapa. “Tidak jauh, kok mbok. Main bola di Kelenteng saja,” kataku. Kemudian ia bercerita tentang nenek, kakek, dan cerita pertemuan dengan almarhum bapak. Mula-mula simbok bekerja sebagai penjaga toko batik di Solo. Di sana ia bekerja pada seorang Tionghoa muslim, namanya Gie Tio Bok.

“Nah, saat itu simbok masih gadis. Kebetulan Ibunya Cik Lian pas main ke Solo. Mereka sering main ke solo untuk menonton Wayang Orang di Sriwedari dan Taman Balekambang. Sering mampir ke keluarga Gie Tio Bok. Rumah keluarga Gie Tio Bok di sebelah selatan gedung Sriwedari. Kemudian aku diminta ikut ke Semarang, membantu-bantu di sini. Anehnya simbok ya mau saja diajak. Padahal di Solo simbok kerasan sekali. Tiap saat bisa menonton wayang orang. Sejak itulah Simbok ikut ke sini.”

Dan cerita tentang keluarga ini tiap malam selalu diceritakan oleh simbok. Mely juga senang main ke kamar kami di belakang ini. Tak lain karena minta dipijat oleh simbok. Sering dia dipijat sampai tertidur. Dan saat jam sepuluh malam Cik Lian mendatangi kamar untuk mengambilnya.

“Sudah tidur Mah Cik,” kata simbok.

“Iya, kebanyakan main, pasti kecapaian,” kata Cik Lian sambil menggendong Mely di pundaknya.

Membantu jualan obat tentu saja simbok tidak bisa. Aku juga tidak bisa. Kalau sekadar mengantar obat ke langganan sudah biasa kulakukan. Baik di kota Semarang maupun ke Salatiga, Boyolali bahkan Demak, Kudus, dan Lasem. Mereka rata-rata pelanggan lama yang biasa minum obat racikan.

Orang-orang yang habis operasi banyak datang ke sini untuk mencari obat. Namanya obatnya Ciak Po. Orang awam menyebutnya sebagai obat habis operasi. Sebetulnya semacam vitamin. Ciak Po berfungsi, untuk memulihkan kondisi tubuh, menetralkan penyakit yang ada serta mencegah penyakit datang lagi. Meracik Ciak Po memerlukan sekurang-kurangnya empat belas bahan rempah-rempah asal China di antaranya Lu Tong, Tan Sen, Muk Siang, Fai San, Song Pi, Ce Titing, Pai Sok, Sasem, Tu Sece, Thu Tung, Kot Ken, Cak Pei, So hu, dan terakhir Hung Co. Keempat belas bahan tersebut langsung ditimbang dengan alat yang disebut Chien. Setelah itu dilakukan peracikan obat sesuai resep.

Juragan Liem mempunyai lima anak. Liem Soe Tjoe, Liem Soe Jing, Liem Sie Gwan, Liem Fang Iie, dan Liem Fang Mey. Keempat anak sudah menikah dan tinggal di luar kota. Menekuni usaha perdagangan. Tak satu pun yang meneruskan usaha rumah obat. Liem Fang Mey atau Mely sebagai anak terakhir digadang-gadang menjadi penerus usaha keluarga. Namun, juragan tampaknya harus siap-siap kecewa sebab Mely justru tertarik kepada tari Jawa.

Sejak kecil Mely sudah menunjukkan ketertarikannya pada budaya Jawa. Di sekolah ia sering mewakili sekolah pada kejuaraan, fertival atau lomba pentas seni. Tak sedikit yang dimenangkannya. Semua itu tak lepas dari guru tari saat di SD Kuncup Melati. Bu Mardiningsih terkenal piawai membawakan tarian-tarian tradisional. Tak hanya tari Jawa, tetapi Bali, Padang, jawa Barat, dan Aceh. Dan Mely jatuh cinta pada tari Merak yang anggun dan lincah.

* * *

Siang ini aku kembali akan mengantarkan Mely belajar tari. Kuantarkan Mely ke Gedung Sobokartti. Aku lebih suka mengantarkan dengan naik becak saja. Kami duduk dengan santai sambil menikmati pemandangan kota yang ramai. Ada keasyikan tersendiri mengendarai kendaraan roda tiga ini. Tidak kalah nikmat dengan naik taksi.

Setiap Rabu sore dia berlatih tari di bawah asuhan Bu Ice, Bu Reni, dan nyonya Nio Tang Sien. Tiga orang yang paling memotivasi Mely. Ketiga orang itu adalah pemain tari pada kelompok kesenian Ngesti Pandowo Semarang.

Terhadap hobinya itu ia mempunyai alasan khusus. Baginya tari merupakan laku batin yang nikmat. Gerakan tari baginya seperti bahasa jiwa.

“Di dalam tari ada tenaga yang mengalir, Koh. Kenikmatan luar biasa,” katanya pada suatu waktu.

Siang itu ia memakai kaus dan celana leging hitam serta selendang sampur merah. Sebuah tas punggung dibawanya pula. Biasanya ia membawa air minum dan buah-buahan. Setiap berangkat latihan wajahnya cerah seperti biasanya.

“Ujian nanti apakah semua siswa tari akan tampil? Termasuk anak-anak?”

“Ya, itu persembahan tahunan kami. Sekaligus sebagai wisuda untuk siswa yang sudah menguasai tari dasar dan terampil.”

“Kalau kamu ikut yang terampil?”

“Iya, dong! Dan aku merasa makin jadi orang Jawa gitu, lo.” Senyumnya makin mengembang.

“Menurutmu apakah setelah wisuda tari nanti berarti selesai?” tanyaku sambil kulirik wajahnya. Kulit putihnya sedikit memerah terbakar panas udara siang. Ia tutup dengan selendang tarinya. Selendang merah itu menutup wajahnya. Ujungnya diberikannya padaku. Aku pun menutupkan ke wajahku.

Azan asar berkumandang dari puncak-puncak masjid.

“Menurut guru Tariku, bu Ice, menjadi Jawa adalah proses aktif Koh. Proses yang terus menerus dicari dalam diri. Aku pun belum paham betul apa maknanya. Mungkin maksudnya aku harus menghayati maknanya. Bukan kulit-kulitnya.”

“Hebat kamu Mel. Saya orang Jawa yang sudah kehilangan Jawaku Mel. Pertama bahasaku. Bahasa Jawa yang tinggi dan adiluhung sudah makin sulit kugapai.”

“Makanya, Koh Tomi belajar, dong! Misalnya tarian Jawa seperti Mely.”

“Wah, tarian kan kebanyakan anak perempuan, Mel!”

“Tidak juga, Koh. Ada kok tarian untuk pria. Coba nanti kutanyakan pada guruku.”

Jalanan Ramai. Lalu lalang kendaraan seperti berebut untuk berada di paling depan.

Sebentar saja kami sampai di Sobokartti. Kalau diukur dari rumahku sebetulnya tidak lebih dari dua setengah kilo meter. Tidak jauh sebetulnya. Bangunan Sobokartti merupakan perpaduan antara konsep Jawa dan Belanda. Jadilah sebuah bangunan yang megah dan indah. Berkali-kali mengantarkan Mely ke sini dan mengambil foto dari berbagai sudut, tetapi baru kali ini aku perhatikan detail arsitekturnya. Luar biasa gedung rancangan Herman Thomas Karsten ini. Bangunan ini konon dibangun atas prakarsa Mangkunegara VII sebagai wujud perhatian kraton pada pengembangan kesenian Jawa khususnya tari, wayang, dan gamelan. Karsten juga dikenal sebagai desainer Pasar Johar yang legendaris itu.

Sobokartti terlihat megah. Memadukan fungsi pertunjukan sehingga nyaman untuk acara pergelaran tari, wayang kulit, wayang orang, dan klenengan. Tersedia panggung permanen di beberapa titik. Didukung tata akustik yang mumpuni, pencahayaan alami yang baik, dan pengaturan udara yang terbuka membuat gedung ini sangat tepat untuk beragam pementasan kesenian.

Setelah turun dari becak, Mely segera menghambur ke teman-temannya yang sudah siap berlatih. Berbagai kalangan mulai anak-anak, remaja-remaja putri sampai orang dewasa ikut berlatih di sini. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada orang Tionghoa, orang asing maupun orang lokal Semarang.

Kelompok tari anak-anak berada di sebelah samping kiri gedung sementara di bagian panggung utama dipakai untuk latihan Mely dan orang dewasa lain. Mereka berlatih tarian bedhaya ketawang. Tarian ini sangat dijunjung tinggi sebagai pusaka budaya di lingkungan kraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Konon tarian ini diciptakan oleh Sultan Agung. Dibawakan oleh sembilan orang. Tidak mudah membawakan tarian ini. Mereka harus memiliki tubuh yang proporsional. Penari adalah perempuan perawan, tidak sedang haid, dan ditambah laku puasa mutih.

Dua orang berpakaian dinas pegawai kota semarang tampak keluar dari dalam gedung. Mereka diiringi dua pria bule berbadan tinggi.

Sampai di depan panggung utama mereka berhenti untuk menyaksikan latihan tari Bedhaya. Orang bule itu mengeluarkan kamera dan mulai mengabadikan peristiwa itu.

Aku dekati pegawai dari kota semarang itu. Ketika kudekati ia tersenyum. Aku memperkenalkan diri sebagai pengantar. Di dadanya tertera sebuah nama: Mike Witarti dan satunya Bu Sonia Indira.

“Ibu dari dinas pariwisata?” tanyaku.

“Saya dari Depdikbud, bagian pembinaan kesenian dan kepurbakalaan. Kebetulan mengantar peneliti bangunan cagar budaya dari Inggris.”

Akhirnya perjumpaan dengan Bu Mike dan Bu Sonia menjadi kesempatanku untuk mengajukan pertanyaan sekaligus protes kepada pemerintah. Bu Mike pegawai yang ramah. Melayani dengan terbuka setiap pertanyaanku. Berkali-kali tangannya membetulkan rambutnya yang sebahu itu.

“Kami sangat senang dengan kiprah para pelaku budaya ini. Mereka justru yang menghidupkan kesenian. Kami dari pemerintah hanya sekadar memfasilitasi saja. Prinsipnya demikian.

“Kalau terkait kesenian Gambang Semarang, Bu?”

“Nah, untuk Gambang Semarang sebagai salah satu ikon kota ini tetap kita lestarikan. Sepanjang saya tahu ada sekitar sepuluh kelompok Gambang yang eksis. Namun, perubahan selera masyarakat juga memengaruhi. Kita tak bisa memaksakan sebuah seni pertunjukkan agar digemari. Semua bergantung permintaan masyarakat. Ini tidak hanya fenomena di Semarang, lo. Bahkan di negara-negara maju pun kesulitan untuk menjaga sebuah seni tradisi.”

“Jadi prinsipnya bukan untuk menandingi budaya populer, ya Bu. Ke depan mungkin seni tradisi akan berfungsi sebatas kelangenan saja?”

“Persis, Mas Tomi. Prinsip pengembangannya bukan untuk membuat seni tradisi menjadi massal, tetapi sebagai cagar budaya. Semacam usaha konservasi budaya saja. Dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Tidak bisa menjadi arus utama atau mainstream.”

“Terkait pemain gambang yang hidup miskin dan terlunta-lunta bagaimana, Bu? Saya masih menyaksikan perhatian pemerintah sangat kurang kepada mereka?”

“Sudah ada bantuan, kok. Kita berikan kepada pimpinan kelompok seni. Saya tidak bermaksud menuduh mereka korupsi, lo ya. Tetapi mungkin soal manajemen keuangan kelompok kesenian memang belum dipikirkan secara serius. Atau tidak bisa memutar uang yang ada. Sebagaian ditabung. Sebagian diinvestasikan untuk membeli alat atau pakaian. Mereka juga tidak bisa menggali sumber keuangan sampingan.” Kembali bu Mike menyisir rambut dengan jari-jarinya. Ia tersenyum lalu berpamitan karena tamunya sudah selesai.

“Kapan-kapan ngobrol lagu, Bu Mike.”

“Silakan, Mas. Main saja ke kantor saya,” jawab bu Mike sambil tersenyum manis. Mereka telah berlalu.

Sebuah kendaraan dinas pemkot Semarang sudah terparkir di depan gedung Sobokartti.

Jadi benar, sebetulnya perhatian pemerintah juga tidak kurang-kurang. Tetapi mungkin perhatian itu tidak bisa lagi hanya bersifat karikatif seperti memberi uang pembinaan. Itu tidak cukup. Perhatian itu mestilah berwujud pendampingan program latihan, pementasan, manajemen, dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga seni butuh regenerasi. Tidak boleh sampai kepaten obor, kehilangan generasi.

Aku duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Melihat anak-anak kecil yang berlatih tari itu aku jadi senyum-senyum sendiri.

Kuperhatikan seorang anak perempuan yang berbadan gendut. Selendang sampur membelit perutnya. Ia pun luwes seperti teman-temannya. Beberapa kali ia menyibakkan poni yang menutupi matanya yang sipit. Di saat jeda istirahat, pelatih tari membetulkan rambutnya lalu mengikat rambut itu ke atas dengan gelang karet. “Nah, kalau begini kan tidak akan mengganggu, Dik. Rambutnya dipanjangkan ya, supaya bisa dikepang di belakang,” kata pelatihnya. Dan gadis cilik itu mengangguk-angguk.

“Yuk, mulai berlatih lagi. Ambil jarak, ya rentangkan tangan. Jangan bersentuhan. Tiga, dua, satu,... !”

* * *

Ketika sedang asyik menikmati pemandangan itu aku dikejutkan dengan kehadiran Mbah Wiro. Dia tahu-tahu sudah berdiri di sampingku. Senyumnya mengembang saat melihatku. Mungkin ia menangkap kekagetanku.

“Sudah lama, Mas Tom?” Senyumnya tak lepas dari wajahnya.

“Lumayan, Mbah.” Kembali aku terkenang saat pertemuan pertama dengan Mbah Wiro. Saat itu aku berada di tempat dudukku ini.

Waktu itu seorang bapak dengan blangkon di kepalanya mengajak aku bergabung dengan bapak lain di ujung timur ruang. Ia menunjuk suatu arah dengan tangan kanannya. Terlihat di pojok ruang sisi timur beberapa orang duduk melingkar di sana. Aku ikuti bapak yang mengajakku. Mungkin mereka juga sama-sama menunggu. Ia berjalan pelan mengiringi langkahku. Aku dirangkulnya.

“Dari mana sampeyan, Mas?”

“Saya dekat saja kok Pak. Gang Pinggir, Pak.”

“Mari Mas, sambil menunggu latihan kita belajar Pasinaon Jawi,” katanya ramah dalam bahasa Jawa ngoko.

“Iya, pak,” jawabku. Aku menjadi penasaran apa yang akan dipelajari oleh bapak-bapak ini. Mungkin seputar tarian atau kesedian tradisional. Sampai di lokasi yang dituju bapak itu menyalami semua yang hadir. Aku pun ikut bersalaman dengan semuanya. Lalu aku duduk di ujung lingkaran.

Orang yang mengajakku tadi duduk di tengah-tengah setengah lingkaran. Ia mulai bicara.

Ternyata orang yang mengajakku tadi adalah pengajarnya.

“Mas Tom, kok melamun. Ikut Pasinaon Jawi lagi, nggih?” Aku tergeragap dari lamunanku tentang peristiwa dua tahun lalu. Aku segera berdiri.

“Nggih, monggo Mbah.”

Dan akhirnya kami berjalan lagi beriringan menuju ruangan sebelah. Ruangan Pasinaon itu berada di sayap timur gedung. Ruangannya cukup lebar. Kami melintasi tempat yang dua tahun lalu menjadi lokasi belajar pertamaku.

Ternyata sudah banyak orang menunggu di sana. Makin banyak saja yang suka dengan Pasinaon ini. Kebanyakan mereka sudah akrab dengan budaya Jawa. Rata-rata anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani).

“Bapak-bapak, kali ini kita akan membicarakan filosofi Jawa. Seorang filosof dari Ngayogyakarta Hadiningrat,” katanya dalam Bahasa Jawa.

“Saya bukan guru. Namun, kita hanya sama-sama belajar,” katanya sambil menuliskan sebuah nama di papan tulis hitam: Ki Ageng Suryomentaram. Nama itu rasanya bukan asing. Siapa tokoh itu? Mbah Wiro lalu duduk dengan tegap. Seakan-akan mempersiapkan tenaga untuk berbicara.

“Untuk menghemat waktu, saya akan mempersingkat uraian ini. Bahwa hidup haruslah menghindari neraka dalam hidup. Sumber neraka dalam hidup ada empat menurut Ki Ageng Suryomentaram,” ia lalu menuliskan di papan tulis: meri atau iri, sombong, getun atau kecewa, sumelang atau khawatir.

“Iri atau meri itu penyakit. Teman panjenengan kaya raya dan kita merasa miskin. Teman kita tampan dan bapak-bapak merasa jelek itu iri. Iri itu merasa kalah dari orang lain. Iri tanda level kita lebih rendah. Itu pun sudah neraka. Kedua, sombong. Merasa tinggi, lebih baik, lebih benar, lebih bermanfaat. Sombong merasa menang dari orang lain. Merasa level kita lebih tinggi dari orang lain Itu susah menikmati dirinya. Ia ingin kelihatan lebih tinggi. Sombong menyusahkan diri kita sendiri. Ketiga, getun atau kecewa. Jangan kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Coba kalau kemarin begini. Andai saja dia begitu. Orang yang meratapi masa lalu tidak akan bahagia. Keempat, sumelang atau khawatir. Khawatir hari besok gimana ya? Banyak khawatir membuat hidup tidak nyaman. Panjenengan akan hidup di neraka dunia. Empat hal itu yang membuat tatu atau luka dan celaka.” Mbah Wiro menatap para siswanya. Yang ditatap berkedip-kedip seperti seperti menelan makanan yang belum lumat. Mbah Wiro menyapukan pandangan seolah mengharapkan ada pantulan dari jiwa-jiwa kami.

Aku mencoba untuk merangkum.

“Berdasarkan uraian tadi kalau disusun menjadi kalimat akan seperti ini ya Mbah: Masa lalu jangan disesali. Masa depan jangan dikhawatirkan. Masa sekarang untuk dinikmati.”

“Leres. Betul Mas Tomi.” Mbah Wiro menunjukkan jempol kanannya.

“Nikmati saja lakon panjenengan pada hari ini. Apa yang bisa dilakukan, lakukan. Masa depan boleh dirancang, tetapi jangan ditakuti. Jangan dikhawatirkan. Masa lalu diingat boleh, tetapi disesali jangan. Masa depan pasti mengkhawatirkan. Tetapi pasti ada peluang dan kesempatan di sana. Masa lalu tidak usah disesali. Masa lalu ibarat spion motor. Sesekali dilihat. Tapi ya jangan dilihat terus. Nikmati saja naik motor.” Kami tertawa mendengar kalimat terakhirnya.

“Kalau kita bebas dari iri dan sombong. Dari sesal dan khawatir Kita akan bisa tatag atau tangguh. Karena kita tahu filosofinya hidup: mulur mungkret, seneng susah, ora iri, sombong, ora getun, ora khawatir. Sesusah apa pun pada saatnya pasti akan senang.”

“lalu bagaimana jalan keluar dari masalah hidup. Bukankah doa kita agar bebas dari kesusahan,” tanya Pak Priyambada.

“Bukan berdoa agar tidak mendapatkan susah atau berdoa agar senang terus. Namun, pahami ritme seneng dan susah. Di situ kita bisa menjadi pribadi yang tatag atau tabah.” Mbah Rono mengangkat jari. Orang itu sedikit menggeser duduknya.

“Nyuwun sewu, bagaiman cara agar kita bisa menerima susah tetapi juga tidak terlena oleh kesenangan hidup?” tanya Mbah Rono.

“Maturnuwun. Untuk bisa menerimanya semua itu kuncinya adalah mengenali diri sendiri. Ketahuilah dirimu. Meruhi gagasane dewe. Tengganglah dirimu. Kenali perasaanmu. Buang semua yang tak penting: pangkat, derajat, kramat, semat. Itu semua semu. Kalau kamu sudah mengenali dirimu. Kamu akan jadi manungso tanpo tenger. Bebas dari semua ikatan yang membelenggu. Karena semua yang melekat padamu hanya simbol. Hanya tempelan-tempelan.”

“Pangkat dan derajat kan tetap boleh diupayakan to, Mbah. Bukankah itu juga naluri manusia,” tanyaku cepat.

“Betul Mas Tomi. Mencari harta ya. Mencari kekayaan juga dibutuhkan, tetapi jangan terjebak atau tertipu pada semat. Ilmu dan kemuliaan ya, tetapi jangan terjebak oleh derajat. Mencari derajat, status sosial boleh saja, tetapi jangan terpesona oleh keramat. Itu semua ibarat baju yang bisa ditanggalkan. Atau ibarat topeng dalam hidup. Tentu tidak nyaman hidup penuh dengan topeng.”

“Ya misalnya Mas Tomi ini sebagai manusia bisa mempunyai banyak topeng dalam kehidupannya. Topeng orang Jawa. Orang Jawa yang mahasiswa. Orang Jawa mahasiswa yang aktivis. Orang Jawa mahasiswa yang aktivis dan banyak membaca buku. Orang Jawa mahasiswa aktivis yang banyak membaca buku dan cinta budaya Jawa. Nah, makin banyak topeng makin berat bebanmu.”

Aku berusaha mencerna ajaran yang baru bagiku. Tentang mulur mungkret, manungso tanpo tenger, topeng dalam hidup. Aku harus mulai menata diri. Jadi semua tempelan dan status tidak boleh dianggap penting. Semua itu sementara seperti halnya senang dan susah. Senang akan berganti susah. Susah akan berganti senang.

Pasinaon sore itu berakhir tetapi bagiku justru awal bagi diriku untuk memahami diri sendiri. Apakah diriku masih penuh dengan tempelan-tempelan yang tidak penting. Sambil berjalan menuju ke pendopo itu aku memantas-mantaskan diri sebagai orang Jawa baru. Mely sudah selesai latihan. Ia duduk-duduk dengan guru tarinya.

Aku bersalaman dengan Bu Ice, Bu Reni, dan nyonya Nio Tang Sien untuk memohon diri. Bu Ice menatapku.

“Mas, daripada sekadar mengantar, mengapa tidak sekalian ikut latihan tari?” Bu Ice bertanya dengan senyum mengembang.

“Iya Mas, kita ada pelatih tari putra lo, Pak Priyambada,” Bu Reni menimpali.

“Ya, saya kenal beliau ikut Pasinaon Jawi tadi,” jawabku.

“La beliau itu guru tari pria yang sangat mumpuni. Sayang sekali kalau tidak ditimba ilmunya.” Nyonya Nio berusaha meyakinkan.

“Iya ini, Bu. Koh Tomi terlalu banyak mikir. Padahal tinggal latihan saja, lo.” Mely ikut menimbrung.

“Nggih, Bu. Nanti saya pikirkan dulu.”

“Nah, kan mikir lagi,...!” kata Mely disambut tawa ibu-ibu itu. Aku hanya senyum-senyum saja.

Dan aku segera pamit untuk menghindari candaan mereka. Aku memanggil becak yang sedang mangkal di pojokan Sobokartti.

“Kota lama ya, Pak!” kataku ketika becak sudah mulai berjalan. Mely memandangku heran. Ada tanya di wajah Mely.

Aku mengajak Mely pulang memutar lewat kawasan kota lama, Little Netherland. Nikmat sekali menikmati keindahan senja kota Semarang sambil mendiskusikan hasil belajarku tentang mulur mungkret dan urip tanpo tenger tadi. Kusampaikan kepadanya sepanjang yang aku ingat. Dari wajahnya, ia tampak tertarik dengan bahasanku. Dia membetulkan letak selendang di lehernya. Dia membetulkan ikatan rambut ekor kudanya. Kembali pandangannya diararahkan kepadaku. Dia belum berkomentar. Mungkin memberi kesempatan kepadaku berkata panjang lebar. Selesai bicara aku minta komentarnya.

“Bagus, Koh. Tetapi aku masih belum paham soal mulur mungkret itu.”

“Ya, mulur mungkret artinya kita luwes menghadapi zaman. Tidak kaku juga tidak lembek. Intinya tepo seliro dan empan papan. Karena keinginan kita kan belum tentu selalu terwujud. Kira-kira begitu. Kalau kamu sendiri filsafat apa yang telah engkau pelajari”

Dia mengambil napas panjang. Pandangannya disapukan ke arah depan. Lalu memperbaiki posisi duduk dan bersandar ke dudukan becak.

“Kalau aku setahun belakangan ini suka mengkaji pikiran Mahatma Gandhi, Koh!”

“Wow, bagus itu. Gagasannya tentang Satyagraha, Ahimsa, dan Swadesi!” aku mencoba menebak.

“Ya. Ahimsa artinya tanpa kekerasan. Juga Satyaghraha artinya kebenaran. Kalau kita mengabdikan diri kepada kebenaran berarti kita mengabdi kepada Tuhan. Menurut Gandhi kita tidak perlu bertanya apa itu kebenaran. Karena hati kita bisa berfatwa, Koh.”

“Kalau dasarnya suara hati, beda-beda dong konsep kebenaran masing-masing orang?”

“Iya, masalahnya selama ini kita telah tampil manipulatif. Itu yang membuat hati kita menjadi tumpul. Sebenarnya kebenaran sudah ada pada diri kita, Koh. Tanyalah pada dirimu. Tengoklah ke dalam. Coba latihan jujur pada diri sendiri. Jujur inilah sekarang ini barang mahal, Koh.”

“Betul, Mel. Zaman sekarang mencari orang yang sukarela mengaku salah itu berat sekali. Bahkan Naskah pleidoi koruptor di pengadilan begitu tebal.”

“Seperti itu bukan Satyagraha. Kalau satyagraha itu hidup di jalan kebenaran. Di jalan satyagraha saya yakin akan selamat. Tidak ada yang bisa menyakitiku. Aku akan berani seperti Gandhi. Seperti Gandhi saat masuk gedung parlemen Inggris hanya dengan pakaian rakyat jelata dan tongkat kayu. Saya juga tidak menunggu ditolong orang. Karena saya tahu Tuhan akan menolong saya. Kalau kita benar, orang lain pasti akan mengikuti.”

“Ya, mbah Wiro mengatakan bahwa pancaran cahaya Tuhan yang jatuh langsung ke bumi tanpa perantara itu kebenaran. Dalam istilah Jawa itu kasunyatan.”

“Nah, dari satyagraha ini lahirlah Ahimsa, tanpa kekerasan. Lawannya yakni himsa: agresif, menyerang, dan agresif.” Aku mendengarkan dengan saksama.

“Seperti dua sisi mata uang. Tidak mungkin bisa satyagraha tanpa ahimsa. Tidak mungkin bisa memperjuangkan kebenaran dengan kekerasan.”

“Dari mana Gandhi melahirkan konsep ahimsa dan satyagraha?”

“Ahimsa berasal dari konsep Hindu. Manusia dalam pandangan Upanisad mempunyai potensi konflik dan keras. Dalam Satripu disebutkan bahwa manusia mempunyai beberapa sumber kekerasan, yaitu nafsu, keserakahan, amarah, kemabukan, kebimbangan, dan iri.” “ Hampir sama dengan filsafat Jawa, ya. Kalau swadesi, apa maksudnya?”

“Swadesi. Swa sendiri. Desi itu Cinta tanah airnya sendiri. Abdikan hidupmu. Hidup kita adalah pengabdian. Abdikan untuk keluargamu. Lalu untuk masyarakatmu. Lalu negaramu. Berhadapan dengan keluarga, masyarakat, dan negara adalah mengabdi bukan meminta.”

“Harusnya swadesi. Memberikan sesuatu. Memenuhi kebutuhan sendiri. Hidup ini labelnya adalah pengabdian kepada alam semesta yang dimulai dari keluarga. Membeli produk dalam negeri. Kalau tidak ada ya bikin sendiri. Itu swadesi. Cuma mental kita kan tidak bisa. Habis kan impor.”

“Jadi menurut Gandhi sebisa mungkin semua kebutuhan membuat sendiri?”

“Tepat sekali, Koh!” katanya sambil memperlihatkan jempol dan senyum manisnya. Ia kembali bertanya tujuan aku mengajaknya berjalan ke kota lama.

“Saya mau ajak kamu melihat peninggalan sejarah kota semarang ini.”

“Di mana? Gereja Blenduk? Taman Srigunting?”

“Pak lewat Jalan Kepodang, nggih?” kataku kepada tukang becak.

“Nggih, Mas.”

Jalanan di depanku cukup ramai. Motor dan angkutan kota berebut saling mendahului. Angkutan berwarna merah itu di Semarang ini disebut Daihatsu sebagaimana merek mobilnya. Warnanya snagat khas: merah menyala. Soal keberanian menyalip jangan ditanya. Mereka jagoannya. Sopir yang membawa kendaraan seolah bisa siapa saja. Sopir tidak ditemani kondektur. Dan tanpa seragam yang menjadi penandanya. Tetapi di situlah ciri khas angkutan kota semarang ini.

Kami memasuki Jalan Kepodang. Kuminta becak untuk berjalan pelan saja. Tidak ada angkutan yang melewati jalan ini. Hanya pejalan kaki dan motor saja. Jalan ini diapit gedung-gedung tua. Rata-rata berlantai dua. Betapa megahnya zaman itu. Tembok-tembok sudah terkelupas. Menyisakan batu bata merah. Tumbuhan merambat tumbuh di dinding menjulur sampai ke atap. Rata-rata bangunan sudah tidak terawat. Mungkin sudah ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.

“Nah, di depan itu lokasi yang akan kita tuju, Mel.”

“Jadi penasaran. Apa sih istimewanya?”

“Nanti saya jelaskan.” Mely mengangguk-angguk sambil menikmati pesona bangunan tua di kanan kiri jalan.

“Depan berhenti, Pak.” Aku turun dan kuberikan uang kepada tukang becak. Ia segera membalikkan becak dan kembali ke pangkalannya.

Aku langsung mengeluarkan kamera. Segera aku ambil gambar dari beberapa sudut. Mely berdiri saja sambil melihat-lihat kendaraan yang melintas. Ia keluarkan botol minuman dari tasnya. Muka penuh tanda tanya.

Aku kudekati Mely. Ia memberikan botol minuman kepadaku. Aku minum dan kukembalikan botol itu kepadanya.

“Jelaskan Koh, apa maksudnya kita ke sini. Bangunan apa ini kok difoto-foto? Apa menariknya. Semua bangunan di sini bangunan tua yang mulai lapuk. Warnanya kusam semua. Bahkan lihat tuh di sana banyak tumbuhan liar yang tumbuh merambat di dinding,” katanya sambil menunjuk suatu arah. Aku acak-acak rambutnya. Ia mengelak dan bertanya dengan isyarat tangannya.

“Pernah dengan Politik Etis?” tanyaku.

“Ya, tentu saja!” katanya sambil memasukkan botol ke dalam tasnya.

“Pernah dengar Trilogi Van Deventer?” aku bertanya lagi.

“Ya, Van Deventer adalah orang yang mengusulkan politik etis! Apa hubungannya?”

“Nah, gagasan van Deventer tentang politik etisnya itu lahir dari gedung tua ini!”

Mely memandangku dengan wajah penuh tanya. Tangannya bersedekap di dada. Telunjuk kanannya disentuh-sentuhkan di bibirnya. Lalu pandangannya diarahkan ke bangunan dua lantai yang sudah rapuh di depanku ini. Dia seperti menerka-nerka. Tak juga keluar kata-kata dari mulutnya.

“Pertama jalan ini dahulu dikenal dengan nama Jalan van Hoogendorpstraat. Nah bangunan di depan kita ini bernomor 20-22. Saat ini dikenal Jalan Kepodang 20 dan 22. Ini adalah kantor koran terkenal di kota Semarang,...”

“de Locomotief!” katanya memotong kalimatku.

“Benar, pernah dengar, Mel?” tanyaku.

Mely mengangguk-angguk kecil.

“Ya, seingatku di gedung Rasa Darma pernah kulihat arsip koran de lokomotief!” Wajahnya berbinar.

“Sayang sekali bangunan kantor ini tak terawat. Padahal pada masa kejayaannya, koran ini menjadi corong suara pergerakan nasional. Lihat betapa besar kantor ini. Untuk ukuran koran di saat itu. Lo seratus lima puluh tahun yang lalu. Luar biasa ini.”

Kuperhatikan sekali lagi bangunan berlantai dua yang terdiri atas tiga rumah besar berjejer ke samping itu. Aku menyeberang jalan dan mendekat ke dinding de locomotief. Mely menyusulku.

Gedung ini menjadi saksi perjuangan nasionalisme cetak Indonesia. Pintunya kayunya besar dan kokoh dan tergembok. Catnya cokelat masih bisa dikenali warnanya. Kusen-kusennya dari kayu jati pilihan. Tembok dan ubin juga masih utuh tidak lapuk meskipun sudah berusia lebih dari satu abad.

“Kota Semarang berarti sangat penting sejak dahulu ya, Koh?”

“Ya, Kota Batavia, Surabaya dan Semarang adalah kota penting bagi pemerintah kolonial. Dan Semarang sebagai salah satu kota pergerakan dan kota perdagangan menjadi tempat yang subur bagi perkembangan pers Belanda dengan korannya yang melegenda: de locomotief.”

Serombongan ibu-ibu melintas. Mereka menggendong bawaan di punggungnya.

“Amit, Mas, Mbak...?” sapanya ramah.

“Nggih, Bu. Mlampah mawon?”

“Nggih, namung caket, Sawah Besar, Mas.”

“Wah, itu lumayan jauh, Bu. Dua kilo lebih...” kataku.

“Lah, sudah biasa, Mas. Monggo, Mas...!”

“Monggo, Bu,...!”

Dan ibu-ibu itu terus berjalan sambil bersendau-gurau. Seolah-olah tak ada kelelahan pada diri mereka padahal bekerja seharian.

“Ibu-ibu itu tak kenal lelah ya, Mel. Padahal sejak pagi lo, mungkin sehabis Subuh sudah berangkat.”

“Ya, itulah namanya Swadesi, Koh. Kerja sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan.”

“Benar juga, ya. Kalau prinsipnya pengabdian, maka lelah dan capai bisa diabaikan. Karena dalam hati ada kesenangan.” Dan ia lagi-lagi mendesak minta penjelasan tentang de locomotief ini.

“Siapa pendirinya, Koh? Apakah Belanda totok, pribumi, atau Tionghoa?”

“Setahu saya, awalnya koran ini bernama Semarangsch Advertentieblad terbit 1851. Kemudian berubah menjadi de locomotief pada tahun 1863. Pertama kali terbit mingguan, terus dua kali seminggu dan akhirnya harian pada 1879. Meskipun terbit di daerah konon de locomotief mempunyai pembaca seantero Hindia Belanda. Dia punya pengaruh kuat bagi pembaruan politik Hindia Belanda.”

Mely mengangguk pelan, tetapi masih ada tanya di wajahnya.

“Terus?”

“Pembaca koran ini beragam mulai para pedagang, pengusaha perkebunan, industrialis, kaum pribumi terpelajar, dan pegawai kalangan pemerintah. Ia berhasil mencitrakan sebagai suara masyarakat Hindia Belanda. Redaktur utama yakni Pieter Brooshooft sehaluan dengan C. Th van Deventer dan Edward Douwes Dekker. Mereka dikenal sebagai golongan reformis yang peduli hak-hak kaum pribumi. Mereka membela nasib para petani dan buruh perkebunan di hadapan pemilik perkebunan dan tuan tanah.

“Apa hubungannya dengan politik etis?”

“Pada tahun 1901 Brooshooft menulis di korannya dengan judul Die Etische Koers in de koloniale Politiek. Tulisan itulah yang menjadi cikal bakal gagasan politik etis Belanda.”

“Wah, tentu penting sekali koran, ya? Bisa memengaruhi kebijakan pemerintah kolonial Belanda”

“Betul. De Locomotief telah memengaruhi pejabat kolonial sekaligus golongan terpelajar pribumi saat itu. Koran ini tumbuh seiring lahirnya golongan terpelajar yang membidani lahirnya organisasi modern bersifat nasional. Pemikiran RA Kartini tentang emansipasi wanita juga dipengaruhi oleh harian ini. De locomotief menunjukkan sikap kritis atas politik tanam paksa atau cultuur stelsel yang dianggap sebagai penindasan sistematis. Ia merupakan koran pertama yang berani menyuarakan hak-hak pribumi.”

“Namanya kok lucu ya de locomotief. Memang ada hubungannya dengan kereta api, Koh?”

“Ya ada. Koran ini lahir ketika masyarakat Hindia Belanda sedang menanti-nanti rencana pembangunan jalur kereta api sebagi moda transportasi baru di Hindia Belanda. Perbincangan tentang kereta api ini terjadi di mana-mana. Nah, nama de locomotief dipakai menjadi nama koran sebagai tetenger sesuai semangat zaman itu.”

“Sewaktu itu kan banyak organisasi-organisasi pergerakan. Ada Budi Utomo, Trikoro Dharmo, Sarekat Islam, Sarekat Dagang Islam, dan lain-lain. Apakah kantor mereka juga ada di kota Semarang ini, Koh!”

Aku senang ia tampaknya mulai tertarik topik pembicaraan tentang sejarah kota Semarang.

“Ada gak, ya....?” kataku menggoda.

“Iya, ada gak?”

“Mau tahu?”

“Iya, dong!”

“Iya tapi kapan-kapan saja ya. Sudah mau magrib nih. Pulang, yuk.!”

“Ihhh, sebel, deh!” katanya sambil memainkan bibirnya.

Dia tampaknya jengkel. Dia pukul-pukul pundakku. Dan aku lari menjauh. Dia terus mengejarku.

“Awas, ya!” katanya sambil berlari.

Aku berhenti mendadak saat sebuah motor melintas dengan kencang.

Dan Mely sudah menyusul di sampingku.

“Aduh!” kataku kaget saat dia cubit pinggangku.

“Syukurin!” katanya singkat. Dan dia berjalan dengan penuh kemenangan. Salam Literasi. [*]

* * *

Bersambung. Nantikan Seri Berikutnya.

Edi Sutopo Gambang Semarang 365 Tantangan Gurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren, Pak...

28 May
Balas

Terima kasih Bu Emi. Salam literasi.

28 May

Inpiratif. Bisa dibagi dua tulisan itu. Salam dari Klaten. Kita satu Jawa Tengah. Follower balik ya

28 May
Balas

Maturnuwun Pak Shidiq. Salam kenal Pak. Salam Literasi.

28 May

Pingin tau lanjutannya

27 May
Balas

Terima kasih atensinya Bu. Mohon sabar menanti ya...

27 May

Ditunggu edisi berikutnya pak

28 May
Balas

Penuh pengajaran Lanjutannya ditunggu pak

28 May
Balas

Maturnuwun Bu Endang. Semoga bisa menghibur dan bermanfaat. Amin.

28 May

Menarik sekali ceritanya pak

27 May
Balas

Maturnuwun. Semoga bisa menjadi hiburan Ibu. Salam literasi.

28 May



search

New Post